Sistem Tanam Paksa atau dikenal dengan nama Cultuurstelsel adalah peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal van den Bosch pada tahun 1830 yang mengharuskan setiap desa menyisihkan setidaknya 20 % tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor seperti tebu, nila, dan kopi. Hasil pertanian tersebut kemudian dijual kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan. Sedangkan setiap penduduk desa yang tidak memiliki tanah diharuskan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda selama 75 hari setiap tahun atau 20% dari 365 hari. Hal tersebut semacam pengganti pajak yang diwajibkan setiap rakyat.

Namun, pada kenyataannya, aturan sistem tanam paksa pada prakteknya banyak terjadi kecurangan. Pada kenyataanya seluruh tanah milik warga diharuskan ditanami komoditi ekspor dan hasilnya diserahkan kepada Belanda seluruhnya. Tanah untuk Tanam Paksa yang pada aturan awal merupakan tanah bebas pajak, pada kenyataannya juga ditarik pajak. Sedangkan warga yang tidak memiliki tanah, yang seharusnya hanya bekerja selama 75 hari pada kenyataannya harus bekerja selama setahun penuh pada lahan pertanian milik Belanda.

Sejarah Tanam Paksa 
Pada tahun 1830, pemerintah Belanda hampir bangkrut setelah mengalami masa – masa perang yaitu Perang Diponegoro di Jawa dan perang – perang di Eropa diantaranya pemecahan wilayah Belgia dari negara Belanda. Untuk menyelamatkan keadaan kas Belanda, diangkatlah Johanes van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan tugas utama mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong, membiayai perang serta membayar hutang negara. Maka dari itu, van den Bosch dalam penerapan Sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel yang memfokuskan pada komoditas paling laku di dunia yaitu komoditi – komoditi ekspor seperti kopi, tebu dan nila.

Tanam Paksa sendiri diterapkan secara bertahap pada tahun 1830 hingga 1835. Tanam Paksa baru sepenuhnya berjalan di Jawa pada tahun 1840. Adanya tanam paksa diawali dari anggapan pemerintah Belanda yang menganggap pemerintah desa di Jawa memiliki hutang sewa tanah yaitu sekitar 40% dari hasil utama desa. Selanjutnya, van den Bosch menerapkan kewajiban penanaman komoditi ekspor pada 20% atau seperlima setiap tanah milik warga serta kewajiban bekerja selama 75 hari bagi mereka yang tidak memiliki tanah. Dengan menjalankan aturan ini, pemerintah desa akan mampu melunasi hutang pajak tanah. Apabila pembayaran hutang melalui pajak tersebut melebihi hutang yang harus dibayar, maka kelebihan tersebut akan diserahkan kepada desa, namun jika kurang, desa wajib membayarnya. 

Berikut ini adalah aturan sistem tanam paksa :

  1. Setiap penduduk diwajibkan menyerahkan seperlima dari lahan garapannya untuk ditanami komoditas ekspor
  2. Tanah yang disediakan oleh warga dibebas pajakkan oleh pemerintah
  3. Hasil panen harus diberikan kepada pemerintah kolonial. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang semestinya dibayar, kelebihan tersebut dikembalikan kepada rakyat.
  4. Tenaga dan waktu panen yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi masa penanaman padi atau lebih dari 3 bulan.
  5. Mereka yang tidak memiliki tanah, diwajibkan bekerja selama 75 hari atau seperlima dari 1 tahun di perkebunan milik pemerintah
  6. Jika terjadi kerusakan atau gagal panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
  7. Pelaksanaan tanam paksa sepenuhnya diawasi oleh kepala desa.

Namun, pada kenyataannya, pelaksanaan Tanam Paksa sangat menyimpang. Berikut ini adalah pelaksanaan tanam paksa :

  1. Jatah tanah untuk penanaman tanaman ekspor melebihi seperlima tanah garapan, apalagi bagi tanah yang subur
  2. Rakyat lebih memperhatikan tanaman ekspor daripada sawah dan ladang sendiri
  3. Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja lebih dari 1/5 tahun
  4. Waktu pelaksanaan penanaman melebihi waktu tanam padi (tiga bulan) sebab tanaman – tanaman perkebunan memerlukan perawatan yang terus menerus
  5. Kelebihan hasil panen yang seharusnya dikembalikan kepada masyarakat pada kenyataannya tidak dikembalikan
  6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani/rakyat

Dalam pelaksanaanya, Tanam Paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan yang ditetapkan. Penyimpangan tersebut terjadi karena penguasa lokal yang tergiur dengan cultuur procentenCultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah yang diberikan pemerintah kepada pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang didapatkan setelah memberikan hasil panen melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.

Bagi orang Jawa, Cultuurstelsel sangat menyengsarakan rakyat. Bahkan pernah terjadi bencana kelaparan yang hebat di Cirebon (1844), Demak (1848) dan Grobogan (1849). Bencana kelaparan tersebut mengakibatkan tingkat kematian meningkat. Adanya bencana kelaparan mengundang reaksi baik dari rakyat Indonesia sendiri maupun orang Belanda. Berbagai daerah kemudian melakukan perlawanan secara sporadis dan tidak terorganisir. Dari pihak Belanda, kaum liberal dan humanis menentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.

Jenis tanaman yang ditanam pada masa Tanam Paksa adalah tebu dan nila, dua komoditas terpenting dalam perdagangan Belanda. Tebu merupakan bahan pembuat gula sedangkan nila merupakan pewarna kain. Pada abad ke 19, ilmu pengetahuan mengenai pewarna belum berkembang, maka dari itu masih menggunakan bahan dari nila. Komoditi yang tak kalah penting adalah kopi. Dari kopi dan gula, pemerintah Belanda mendapat banyak keuntungan. Pemerintah Belanda bahkan memberikan perhatian yang serius terhadap kedua komoditas ini. Laba yang diperoleh Belanda mencapai puncaknya pada 1830-1840. Namun sesudah 1850 mulai terjadi pengendoran. Rakyat Belanda yang ada di Eropa kurang begitu mengetahui mengenai keadaan tanah kolonial di Hindia Belanda dikarenakan kendala komunikasi.  Ketika mereka mengetahui, barulah muncul berbagai reaksi dari orang – orang Belanda.

Akibat Sistem Tanam Paksa
Akibat diberlakukannya sistem Tanam Paksa sangat beragam, berikut adalah beberapa uraiannya :

  • Banyaknya tanah yang terbengkalai sehingga menyebabkan gagal panen
  • Rakyat semakin menderita
  • Wabah penyakit merajalela
  • Bahaya kelaparan dibeberapa tempat

Akibat gagal panen, rakyat Indonesia menderita kemiskinan yang berkepanjangan. Disisi lain, bagi Belanda, Sistem Tanam Paksa merupakan ladang subur bagi kas Belanda. Lambat laun hutang Belanda dapat ditutupi. Kas yang kosong mulai terpenuhi bahkan mengalami surplus.

Tokoh Penentang Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam  Paksa ternyata menimbulkan berbagai reaksi di kalangan orang Indonesia maupun Belanda. Berikut ini adalah tokoh – tokong yang bereaksi keras terhadap pelaksanaan Tanam Paksa :

1. Golongan Pendeta
Pelopor pendeta yang menentang adanya praktek tanam paksa adalah Baron van Hovel. Ia adalah seorang pendeta. Setelah kembali ke negerinya, ia kemudian menjadi anggota parlemen. Kelompoknya selanjutnya memperjuangkan nasib tanah jajahan. Pada akhirnya, timbul kecaman dari golongan ini agar pemerintah menghapus praktek tanam paksa. Setelah 40 tahun berlangsung barulah tanam paksa terhenti yaitu pada tahun 1870.

2. Golongan Liberal
Golongan liberal terdiri dari pengusaha dan pedagang, yaitu

  • Douwes Dekker yang membuat buku berjudul Max Havelaar. Ia menyamarkan namanya di buku tersebut dengan nama Multatuli. Dalam bukunya, Douwes Dekker mengkritik kebijakan Tanam Paksa dan menuntut agar pemerintah Belanda memperhatikan kehidupan bangsa Indonesia. Ia mengusulkan untuk memberikan balas budi kepada bangsa Indonesia. Balas budi atau yang kemudian hari disebut politik etis tersebut tercantum dalam langkah – langkah sebagai berikut
    – Pendidikan (edukasi)
    – Membangun saluran pengairan (Irigasi)
    – Memindahkan penduduk ke daerah yang jarang penduduknya (Imigrasi)
  • Frans van de Pute merupakan seorang yang mengarang buku berjudul Suiker Constracten (Kontrak Kerja). Dalam buku tersebut, de Pute mengkritik sistem Tanam Paksa yang dianggap mematikan usaha perkebunan swasta di Hindia Belanda. 

Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Karena adanya tuntutan dari berbagai kalangan, pemerintah Belanda mulai terpojok dan mulai memikirkan untuk melepaskan koloninya dari sistem Tanam Paksa. Disisi lain, pemerintah Belanda sangat mengandalkan sistem Tanam Paksa guna memenuhi kasnya. Maka dari itu, Belanda kemudian menghapuskan secara bertahap sistem tanam paksa dimulai dari daerah – daerah yang kurang begitu berpengaruh. Di wilayah Sumatera Barat, mulai tahun 1847, mulai lepas dari Tanam Paksa kopi. Pada tahun 1860, penanaman lada dihapus. Pada tahun 1865 penanaman nila dan teh dihapus. Yang terakhir, pada tahun 1870 semua tanaman pada kebijakan tanam paksa dihapus kecuali di wilayah Priangan.

Pengaruh Positif Tanam Paksa Bagi Indonesia
Meskipun sangat menyengsarakan rakyat Indonesia, namun ada sisi positif yang dapat diambil dari Tanam Paksa yang dilakukan Belanda, diantaranya :

  • Terbukanya lapangan pekerjaan
  • Rakyat mulai mengetahui tanaman – tanaman baru terutama jenis tanaman ekspor
  • Rakyat mengenal cara menanam dan sarana prasaran penunjang pertanian

Bagikan:

Leave a Comment