BERDIRINYA KERAJAAN BANTEN
Sebelum tahun 1400, Banten merupakan wilayah yang sepi akan perdagangan. Hal ini dapat dipahami karena Banten bukan merupakan jalur pelayaran dan perdagangan. Baru ketika Malaka dikuasai oleh Portugis, perdagangan di Pulau Jawa berangsur angsur ramai. Hal ini karena pedagang Cina, Arab maupun India tidak menyukai monopoli perdagangan yang diterapkan di Malaka.

Setelah Malaka dikuasai oleh Portugis, Laut Jawalah yang lebih berperan dalam kegiatan perdagangan. Banten pada awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Sunda yang berfungsi sebagai pelabuhan lada. Banten merupakan pelabuhan kedua terramai diwilayah Jawa Barat setelah Sunda Kelapa. Pada tahun 1525, Sultan Trenggono yang berasal dari Kerajaan Demak mengutus Nurullah (terkadang disebut Fatahillah) atau Syarif Hidayatullah untuk menaklukkan kawasan Banten. Bukan hanya bertujuan memperluas wilayah Demak, namun juga Demak memiliki misi pengislaman di Pulau Jawa. Setelah Banten mampu dikuasai, Banten menjadi wilayah bagian dari Demak atau dinamakan kadipaten. Hingga pada akhirnya ketika Demak runtuh, Banten memilih merdeka dan mendirikan Kesultanan Banten.

Portugis memiliki kepentingan dengan kedua pelabuhan lada di wilayah Sunda (Sunda Kelapa dan Banten). Kerajaan Pajajaran menganggap Portugis akan membantunya dalam mengadapi Kerajaan Demak. Karenanya pada tahun 1522, raja Pajajaranlah yang bergelar Samiam (Sang Hyang atau Sang Dewa) yang bersedia mengadakan perjanjian persahabatan dengan Portugis yang diwakili oleh Panglima Henrique Leme. Namun, sebelum Portugis mampu memanfaatkan perjanjian tersebut, Nurullah atau Syarif Hidayatullah yang kemudian bergelar Sunan Gunung Jati merebut wilayah Banten dan Sunda Kelapa sesudah tahun 1522 dan 1527 dari Kerajaan Pajajaran.

Nurullah datang ke Banten pada tahun 1525 atau 1526 atas perintah Sultan Trenggono dari Demak. Kedatangannya di Jawa Barat bertujuan untuk mengislamkan dan memperluas wilayah Demak di Jawa Barat. Menurut cerita, sesampainya di Banten, Nurullah mampu menyingkirkan bupati Sunda untuk mengambil pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dalam hal ini, Sunan Gunung Jati mendapatkan bantuan dari militer Demak.

Langkah selanjutnya adalah mengislamkan Jawa Barat dengan menduduki pelabuhan yang sudah tua yaitu Sunda Kelapa pada tahun 1527. Perebutan Sunda Kelapa mengalami persaingan yang cukup sengit karena letaknya yang tidak terlalu jauh dengan pusat kerajaan di Pakuan (Bogor). Sebagai tanda bahwa wilayah Sunda Kelapa merupakan wilayah penting bagi Demak serta menandai kemenangan Demak atas Pajajaran, maka diubahlah Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Orang – orang Portugis yang tidak tahu bahwa wilayah Sunda Kelapa telah dikuasai orang – orang Islam, datang dan mendirikan pos dagang pada tahun 1527 untuk mendirikan pos dagang sebagai pelaksanaan perjanjian dengan Sang Hyang pada tahun 1522. Portugispun kemudian mendapat perlawanan bersenjata.

Sebagai penghargaan atas penguasaan wilayah Banten, pada tahun 1528 – 1529, Sultan Trenggana menghadiahi sepucuk meriam buatan Demak yang dibubui dengan anja kepada Sunan Gunung Jati. Meriam itu kemudian dinamakan Para Banya yang kemudian disebut Ki Jimat. Sunan GunungJati setelah menguasai wilayah Banten dan Sunda Kelapa ternyata tidak berusaha menyerang pusat Kerajaan Pajajaran di Pakuan. Bahkan meninggalkan Banten pada tahun 1522 disebabkan puteranya, Pangeran Pasareyan yang dijadikan wakilnya di Cirebon meninggal. Sejak saat itu, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon hingga akhir hayatnya dan menyerahkan Banten kepada putera keduanya, Hasanuddin.

Hasanuddin diangkat sebagai raja Banten pertama. Dalam tradisi Banten, Hasanuddin dianggap sebagai pendiri dinasti sultan – sultan Banten dan bukan Sultan Gunung Jati. Alasan yang mendasari hal tersebut diantaranya :

  • Pertama, Sunan Gunung Jati dianggap tidak lama berkedudukan di Banten.
  • Kedua, selama masa pemerintahan Sunan Gunung Jati di Banten, kedudukan Banten masih terikat oleh Demak dan Hasanuddinlah yang mulai melepaskan diri dari ikatan Kerajaan Demak, sejak tahun 1568 ketika Demak mengalami kekacauan. 

    DAERAH KEKUASAAN BANTEN

    Wilayah Kekuasaan Banten

    PERKEMBANGAN KERAJAAN BANTEN
    1. Maulana Hasanuddin
    Hasanuddin merupakan penguasa kedua Banten yang melanjutkan cita – cita pengislaman atas wilayah Jawa Barat di tanah Banten. Banyak tindakan progresif yang dilakukan Hasanuddin dalam memberikan kemajuan pada Kesultanan Banten. Masjid Banten dan sarana pesantren di Kasunyatan merupakan karya nyata yang monumental dari Hasanuddin. Sultan Hasanuddin mampu memperluas wilayah kekuasaan hingga ke Lampung dan wilayah Sumatera Selatan. Daerah – daerah tersebut merupakan penghasil merica, sehingga pada masa pendudukannya Banten menjadi pelabuhan penting lada dan merica yang banyak disinggahi pedagang Cina, India dan Eropa.

    Hasanuddin memperbesar dan memperindah kota pelabuhan Banten dan memberi nama Sura-Saji (Surosowan). Kota ini lebih penting dibandingkan dengan kota lama Banten Girang. Pada tahun 1570 M, Hasanuddin wafat dan digantikan putra sulungnya yang bernama Maulana Yusuf. Hasanuddin kemudian dikenal dengan nama anumerta Pangeran Saba Kingking.

    2. Maulana Yusuf
    Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, seluruh wilayah Banten mampu dikuasai diantaranya pusat kota Banten Girang, Banten Surosuwan dan daerah Banten selatan. Pesantren Kasunyatan yang sebelumnya telah dirintis Hasanuddin dikembangkan secara intensif sehingga mampu menelurkan kader agama yang handal dan bertanggung jawab. Pada mas pemerintahan Maulana Yusuf, Masjid Agung Banten juga dimanfaatkan sebagai tempat dakwah dan diskusi problematika agama bagi para ulama.

    Sultan Maulana Yusuf merupakan raja yang giat memperluas wilayah dan memiliki keterampilan istimewa dalam berperang. Dengan militer Banten, Maulana Yusuf mampu mengalahkan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1579 di Pakuan. Keberhasilan ini dicapai setelah Sultan Maulana Yusuf memerintah selama 9 tahun di Banten. Setelah berhasil merebut Pakuan, Maulana Yusuf kemudian membangun Banten Surosuwan sebagai ibu kota baru. Pada tahun 1580, Maulana Yusuf meninggal dan digantikan puteranya, Maulana Muhammad yang baru berusia 9 tahun.

    3. Maulana Muhammad
    Karena umurnya yang masih berusia 9 tahun, pemerintahan Maulana Muhammad sementara dipegang oleh seorang mangkubumi. Ketika Maulana Muhammad beranjak dewasa, terjadi peperangan antara Banten dengan Jepara. Pangeran Jepara (adik Maulana Yusuf yang diasuh dan menggantikan Ratu Kalinyamat) datang ke Banten dan menuntut pengakuan atas tahta Kerajaan Banten. Pangeran Jepara datang ke Banten melalui laut dan membawa armada perang untuk mengakuisisi kekuasaan. Namun, sesampainya di Banten ternyata telah dilakukan pengangkatan Maulana Yusuf sebagai Sultan Banten. Hal ini membuat pangeran Jepara marah dan perangpun tak terhindarkan. Dalam peperangan ini Demang Laksamana Jepara gugur yang menyebabkan Pangeran Aria Jepara mengurungkan niatnya dan memilih kembali ke Jepara.

    Setelah Maulana dewasa ia terkenal sebagai pemuda yang shaleh serta memiliki gairah untuk memperluas wilayah dan Islamisasi, mengarang kitab hingga membangun sarana ibadah hingga ke pelosok. Meskipun pencapaiannya tidak sebaik ayahnya, ada satu peristiwa yang menonjol pada masanya yaitu ekspansi Banten ke Palembang. Palembang pada saat itu sangat maju dibawah kekuasaan Ki Gede Ing Suro. Ketika terjadi ekspansi, hampir saja Palembang mampu dikuasai. Namun, pada akhir peperangan Sultan Maulana Muhammad tertembak peluru dan serangan terpaksa dihentikan. Banten kembali pulang dan Maulana Muhammad wafat padausia yang relatif muda. Sultan Maulana wafat dan digantikan oleh putranya Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia 5 bulan.

    4. Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir
    Sultan Abdul Mufakir dinobatkan ketika masih balita. Maka dari itu kekuasaannya diserahkan ke Mangkubumi Jayanegara yang menjadi loyalis kerajaan sehingga Banten tetap dalam kondisi stabil. Namun smemenjak Mangkubumi Jayanegara wafat pada tahun 1602, jabatan mangkubumi menjadi banyak incaran, banyak pangeran yang berambisi menduduki jabatan tersebut. Mangkubumi pengganti Jayanegara membuat kebijakan yang bersebrangan yaitu dengan membuka hubungan dengan bangsa barat. Hal ini membuat kecurigaan dan iri dari para pangeran lain sehingga pemberontakanpun banyak terjadi. Aksi pemberontakan ini berhasil melumpuhkan mangkubumi dan membuatnya terbunuh.

    Aksi pemberontakan ini baru bisa diredam setelah pasukan sultan, pasukan Pangeran Ranumganggala dan bantuan Pangeran Jayakarta menumpasnya. Diangkatlah Pangeran Arya Ranumanggala sebagai mangkubumi. Setelah menjabat sebagai mangkubumi, ia mengadakan penertiban baik dari dalam urusan negeri maupun para pedagang Eropa. Pajak pedagang terutama dari Barat dinaikkan. Hal ini bertujuan agar pedagang asing pergi dari Banten. Hal ini dilakukan karena Sultan Banten telah mengetahui bahwa mereka selain berniaga juga ingin mencampuri urusan dalam negeri Banten.

    Tindakan tegas ini memaksa kompeni untuk memalingkan orientasinya ke Jayakarta. Di Jayakarta mereka disambut baik oleh Pangeran Wijayakrama, ia berdalih kedatangan pedagang Barat mampu meramaikan pelabuhan Sunda Kelapa. Melihat hubungan yang erat antara Jayakarta dan Kompeni membuat Mangkubumi Arya terusik. Sebagai penguasa Banten yang membawahi Jayakarta, ia mengutus Pangeran Upatih untuk menyerang benteng – benteng asing yang ada dikawasan Banten. Dalam upaya ini, orang – orang Inggris dan Beanda dapat dipaksa meninggalkan wilayah Banten dan kembali ke kapal mereka. Namun mereka juga berusaha bertahan hingga bantuan dari Maluku tiba. Setelah bantuan dari Maluku yang dipimpin oleh J.P. Coen datang pada bulan Maret 1619, barulah orang – orang Belanda menyerang Banten yang ada di Jayakarta dan mampu menguasainya serta merubah nama Jayakarta menjadi Batavia.

    Sejak peristiwa itu, konflik antara Banten dan Belanda berangsur – angsur mereda. Permasalahan tidak hanya dengan kompeni namun juga intern kerajaan yaitu adanya peralihan kekuasaan Mangkubumi Arya kepada Sultan Abdul Mufakhir ketika telah dewasa. Selain itu konflik juga terjadi karena adanya usaha Mataram yang ingin mengambil alih kekuasaan Banten melalui perantara Cirebon. Pada masa inilah Sultan Abdul Mufakhir naik tahta. Ia sangat menentang keeradaan VOC di Batavia. Akibatnya terjadi konflik dimana berakibat pada blokade jalur perdagangan ke Banten sehingga pecah perang pada tahun 1633 dengan diakhiri perjanjian diantara kedua belah pihak. Meskipun telah disepakati perjanjian, namun masih saja ada ketegangan – ketegangan diantara kedua belah pihak.

    5. Sultan Ageng Tirtayasa
    Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta pada tahun 1651 menggantikan kakeknya. Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mengalami kemajuan yang pesat baik dibidang politik, sosial budaya dan ekonomi. Sultan Ageng Tirtayasa juga melakukan hubungan dengan Persia, Surat, Mekkah, Karamandel, Benggala, Siam, Tonkin dan Cina yang cukup menjadi ancaman VOC. Pada masa pemerintahannya juga dibangun sistem pengairan untuk kegiatan pertanian. Antara 30 km dan 40 km kanal dibangun pengairan untuk mengairi lahan sawah sebesar 40 ribu hektar dan ribuan hektar perkebunan kelapa.

    Sebagai seseorang yang taat terhadap agama, ia sangat anti terhadap Belanda yang juga memiliki tujuan penyebaran agama juga. Konflik seringkali terjadi untuk mematahkan pertahanan Batavia. Aksi teror dilakukan yang sangat merugikan pedagang Belanda. Setidaknya dua puluh tahun lamanya Banten dalam kondisi aman dibawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, ketentraman ini akhirnya sirna ketika anak sulungnya, Sultan Haji kembali dari tanah suci (1676). Ia lebih memihak Belanda daripada ayahnya. Sultan Haji ditunjuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengurusi permasalahan dalam negeri, namun disalahgunakan dengan berkompromi bersama Belanda untuk menghancurkan ayahnya sendiri.

    Pada tahun 1681, Sultan Ageng Tirtayasa benar – benar mengalami kesulitan akibat kudeta anaknya yang dibantu pasukan VOC dari Batavia. Akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa memilih pindah ke Tirtayasa bersama abdi setianya. Hal ini adalah imbas dari politik devide et impera Belanda. Meskipun demikian, ia tetap tegar pada pendiriannya. Front bentukan Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan serangan kepada VOC yang pengaruhnya di istana Surosowan semakin menguat. Pada tanggal 27 Februari 1682, Istana Surosowan diserbu dan berhasil diduduki sementara waktu. Namun berkat bantuan Belanda, Sultan Haji mampu membalikkan keadaan dan kembali menguasai Istana Surosowan.

    Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa berhenti setelah ia ditangkap dan dipenjara oleh VOC hingga ia wafat pada tahun 1692. Dengan ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji dan VOC pada tahun 1682, maka kekuasaan sultan mutlak berakhir. Sejak saat itu status sultan hanyalah simbol boneka bagi pemerintaan Belanda. Hal ini terus menerus berlanjut hingga kesultanan Banten runtuh.

    KEHIDUPAN EKONOMI
    Karena Banten memiliki wilayah pesisir, maka Banten banyak mengembangkan bidang pelayaran dan perdagangan. Pelabuhan Banten ramai dikunjungi berbagai negara. Hal ini didukung beberapa faktor diantaranya :

    • Letak yang strategis
    • Sebagai penghasil lada putih
    • Dikuasainya Malaka oleh Portugis

    Dengan ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan membuat Banten memiliki perkampungan – perkampungan pedagang diantaranya kampung Kaling, kampung Pekojan, dan kampung Pecinan. Adapun perkampungan dari Nusantara diantaranya kampung Melayu, kampung Jawa dan lain – lain.

    Masjid Agung Banten (1982 – 1989)

    KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA
    Karena corak agama di Kerajaan Banten adalah agama Islam, maka hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Masyarakat Banten yang masih memeluk agama Hindu terutama bawahan dari Pajajaran memilih menyingkir. Masyarakat ini kemudian dinamakan Suku Badui. Mereka menutup diri dari perkembangan diluar dan menyebut dirinya orang – orang Kejeroan. Dalam hal kebudayaan, Banten memiliki kemajuan yang cukup pesat diantaranya dibangunnya Masjid Agung Banten, bangunan keraton serta gapura keraton Banten.

    Bagikan:

    Leave a Comment