Istilah bandar pada sejarah merujuk pada kota pelabuhan suatu kerajaan. Pada masa lampau kota – kota yang hidup dari sektor ekonomi maritim di Indonesia disebut bandar. Kota – kota ini menggantungkan letaknya yang strategis sebagai pelabuhan transit maupun pasar bagi pedagang asing. Berikut ini adalah bandar – bandar yang ada di Nusantara pada masa perkembangan kerajaan Islam.

1. Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai menjadi salah satu pusat perdagangan pada masa kejayaannya. Bandarnya begitu ramai hingga disinggahi pedagang – pedagang asing dari berbagai benua seperti benua Afrika, Asia dan Eropa. Pada saat itu juga banyak pedagang dan saudagar muslim yang datang dari Persia dan India yang berdagang di Nusantara.

Dalam catatan Ibnu Battuta yang berjudul “Tuhfat al Nazha”, ia menggambarkan keindahan Bandar Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah”. Ibnu Batuta datang pada masa pemerintahan Sultan Malik Al-Zahir (1297-1326) yang mencatat kemajuan ekonomi Samudera Pasai. Dalam catatannya, ia terdampar di Samudera Pasai selama 15 hari. Setelah dari Samudera Pasai ia melanjutkan pengembaraannya menuju Cina. Catatan Ibnu Battuta menggambarkan perkembangan perdagangan Nusantara pada masa abad pertengahan. Battuta tak bias menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling di kota ini. Ia takjub melihat kota yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Daerah Aceh selama abad 13 hingga awal abad 16 merupakan wilayah penghasil rempah – rempah yang terkenal di dunia. Komoditas andalan Aceh pada masa itu adalah lada yang mampu mengekspor sebanyak 8.000 hingga 10.000 bahara. Tak cuma lada, Samudera Pasai pun tercatat juga sebagai produsen sutra, kapur barus serta emas. Ibnu Batuta menuliskan hubungan baik terjalin antara pedagang Samudera Pasai dan para pedagang luar tak kecuali pedagang Jawa. Bahkan pedagang Jawa dilayani dengan istimewa dengan tidak menarik pajak. Biasanya pedagang Jawa menukar beras dengan lada dengan system barter.

2. Bandar Malaka
Posisinya yang strategis membuat Malaka menjadi pusat perdagangan rempah – rempah didunia. Sebelum abad ke 15 Malaka sudah terkenal sebagai kawasan penting penghubung Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Timur Tengah. Selama beradab – abad Malaka menjadi wilayah yang ramai dikunjungi armada asing seperti dari Arab, India, Persia dan Tiongkok. Perdagangan di Malaka meningkat seiring adanya aktivitas ekonomi Bani Umayyah yang mencari sumber – sumber perekonomian di Cina. Kesultanan Malaka berkembang pesat menjadi bandar persinggahan dan pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad ke 16. Diceritakan bahwa Malaka mampu menampung sekitar dua ribu kapal berbagai ukuran pada satu musim. Para pedagang dari berbagai penjuru menggunakan Malaka sebagai jalur penghubung ke Barat mulai dari India, Persia, Arabia, Syam, Arika Timur, dan Laut Tengah. Ketika masa imperialisme bangsa Barat, Malaka sempat dikuasai oleh Portugis (1511). Pada saat itu sebenaranya Malaka sudah menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Setelah Malaka dikuasai oleh Portugis, maka para pedagang Islam yang tidak suka akan monopoli perdagangan Portugis, berpindah dan membangun bandar – bandar baru di penjuru Nusantara seperti Aceh, Demak, Palembang dan Makassar.

3. Bandar Demak
Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah (1500 – 1518) yang merupakan putra raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat yang menguasai wilayah Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya serta memiliki pengaruh di Palembang, Jambi dan beberapa wilayah di Kalimantan. Karena memiliki bandar – bandar besar seperti Jepara, Tuban, Sedayu dan Gresik mengharuskan Demak memiliki armada laut. Dengan kekuatan armada lautnya, Demak pernah menyerang Portugis yang menduduki wilayah Malaka.

Hubungan perdagangan yang sudah berlangsung lama dengan kerajaan dan pedagang muslim menyebabkan daerah – daerah pesisir tumbuh menjadi pusat perdagangan. Pada tahap pertama kerajaan Majapahit menjalin hubungan baik dengan para saudagar Islam yang berjualan di pesisir. Pada perkembangannya, saudagar Islam ini menyebarkan ajaran agama Islam dan berhasil mengislamkan adipati – adipati pesisir Jawa. Para adipati ini kemudian memperkuat posisinya dan berusaha melepaskan pengaruh Majapahit. Satu persatu kadipaten lepas dari Majapahit. Keadaan ini menjadi ancaman bagi Majapahit. Masyarakat pesisir lebih memilih Demak sebagai kerajaan induk karena memberi rasa damai dan pengayoman dari kepemimpinan Raden Patah. Kerajaan Demak seolah menjadi puncak pengislaman di tubuh Majapahit yang rapuh.

4. Bandar Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo menngadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah pimpinan Sultan Baabullah yang telah memeluk Islam terlebih dahulu. Bandar Gowa Tallo menjadi bandar yang sangat ramai disinggahi pedagang dari mancanegara. Hal ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi Gowa Tallo. Kerajaan Gowa Tallo mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669). Menurut catatan Christian Pelras (seorang ilmuwan dari Prancis) yang menulis bukunya sekitar abad 17 M menyebutkan orang Bugis (pedagang dari Wajo Makassar) telah menyusun undang – undang Maritim. Peraturan ini disusun oleh Amanna Gappa sebagai kepala komunitas Wajo di Makassar. Ia menjabat sebagai kepala Wajo pada tahun 1697 hingga 1723.

5. Bandar Banjar
Kesultanan Banjarmasin merupakan salah satu kerajaan Islam yang maju di wilayah Kalimantan. Kerajaan ini berdiri di sekitar sungai Barito yang menjadi tempat persinggahan para pedagang. Muara sungai Barito didiami oleh sekelompok suku Melayu yang oleh suku Dayak Ngaju disebut Oloh Masih. Pada abad ke 14 dan 15 di daerah Banjar berdiri kerajaan Hindu, Negara Dipa dan Negara Daha. Berdasarkan Hikayat Lambung Mangkurat pelabuhan Negara Dipa di Muara Bahan sangat ramai oleh pedagang asing. Menteri perdagangan Negara Dipa Wiramartas dikenal memiliki keahlian berbagai Bahasa seperti Bahasa Cina, Melayu, Arab, sehingga mempermudah adanya hubungan perdagangan.

Perdagangan Banjar mengalami kemajuan pada masa Sultan Mustain Billah yang ditandai dengan kemegahan istana serta perangkat – perangkatnya. Dan pada pertengahan abad ke 17 terjadi perpecahan pada ibu kota Banjar yaitu Banjarmasin dibawah Sultan Agung (Amirullah Bagus Kesuma) dan Martapura dibawah Panembahan Ratu. Pada abad ke 17 kerajaan Banjar dikenal merupakan penghasil lada. Pada sekitar tahun 1959 para pedagang Banjar melakukan aktivitas perdagangannya dengan Banten pada waktu itu menggunakan dua buah jukung (kapal) banjar dirampok oleh kompeni. Disisi lain pada tahun 1607, Belanda ingin menjalin hubungan baik dengan Banjar dengan mengirimkan utusan namun tidak mendapat sambutan dengan baik. Terjadi perlawanan dari Belanda hingga menyebabkan pecahnya pertempuran yang mengakibatkan terbunuhnya seluruh utusan Belanda. Pada tahun 1612 Belanda mengadakan pembalasan dengan menyerbu, menembak dan membakar Keraton Banjar di Kuin Banjarmasin.

Potensi emas di Banjar membuat rakyat Banjar berlomba lomba menambang emas dengan cara tradisional di hulu sungai. Emas ini kemudian diperdagangkan kepada sultan dan pedagang Hindu dan Cina. Menurut tradisi, Dayak sendiri tidak menggunakan emas namun emas mempengaruhi kebudayaan pulau ini. Emas telah diekspor dari Borneo bagian barat kira – kira sejak abad ke 13 dan menjelang abad ke 17 kepada pedagang – pedagang Cina yang mengumpulkan muatan – muatan emas di Sambas.

Selama beradab – abad para penambang Dayak mencari emas dengan mendulang debu emas di sungai – sungai. Cara mendulang emas yaitu dengan menggunakan alat sejenis baki yang dangkal yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk mendulang emas, yang selanjutnya dijual di pasar – pasar setempat di Martapura. Selain terkenal dengan emasnya, Martapura juga terkenal dengan intan. Intan yang didapat akan dijadikan berlian dan diperjualbelikan di pasaran internasional.

6. Bandar Pontianak
Dengan letaknya yang strategis Bandar Pontianak menjadi tempat yang sangat potensial untuk disinggahi para pedagang asing untuk melakukan transaksi maupun singgah. Berbagai komoditi yang dijual pedagang lokal diantaranya permata, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, pinang, sarang burung wallet, kopra, lada, kelapa dan lain – lain. Secara ekonomi, kedudukan Pontianak tergolong sebagai salah satu pelabuhan penting bagi perdagangan internasional. Dengan letaknya yang strategis dan kedudukannya yang terdiri dari perairan Laut Jawa, Selat Karimata, dan Laut Natuna. Ketiga perairan tersebut menghubungkan Batavia, Demak, kesultanan di Jawa lain, Banjarmasin, Kutai dan Paser, Palembang, Riau, dan Deli, Malaka dan Johor. Selain letaknya yang strategis untuk perdagangan, letak yang strategis juga dimanfaatkan untuk pemungutan pajak dan pengawasan.

Bagikan:

Leave a Comment