Adat istiadat dan budaya Yogyakarta sangat terpengaruh oleh Kraton. Jika dilihat dari sejarah dan latar belakangnya, Kraton Yogyakarta merupakan sumber dari tabiat istiadat dan budaya masyarakat Yogyakarta.

Kraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang biasa disebut Kraton Yogyakarta hingga kini terus mempertahankan ciri khas, tabiat istiadat  dan budayanya mirip Upacara Sekaten, Grebeg Muludan atau Tumplak Wajik. Tak heran mengapa banyak Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara tiba ke Yogyakarta dan tertarik memperdalami pesona kebudayaannya yang terpancar dari Kraton.

Berikut Upacara Adat Yogyakarta yang sanggup Anda saksikan keberadaannya hingga di zaman ini.

  • Upacara Sekaten

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Sekaten atau Upacara Sekaten ialah program ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan pada setiap tanggal 5 bulan Jawa mulud (Rabiul Awal tahun hijriah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dahulu di pakai oleh Sultan Hamengkubuwono I, Pendiri Keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Pada hari pertama, Upacara ini akan diawali dikala malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) gotong royong dengan dua set Gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju Masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid Agung sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan Masjid Agung.

Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan hingga dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang kedalam kraton.   

  • Grebeg Muludan
 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Acara puncak peringatan Sekaten akan ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 Rabiul Awal (persis hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW) dari jam 08.00 – 10.00 wib dengan dikawal oleh 10 macam Bregada (kompi) prajurit kraton, Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa dan Bugis.

Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, masakan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari Istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Agung. Setelah di do’akan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan Kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang mengganggap bahwa penggalan dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka.

Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah ladang semoga sawah ladang mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam tragedi dan malapetaka.

  • Tumplak Wajik

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Dua hari sebelum program Grebeg Muludan, Suatu upacara yaitu Upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman Istana Magangan pada jam 16.00 wib. Upacara ini berupa Kotekan atau permainan lagu dengan menggunakan kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi) dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada dikala Upacara Grebeg Muludan. Lagu-lagu yang dimainkan dalam program Numplak Wajik ini ialah lagu jawa terkenal mirip Lompong Keli, Tudhung Setan, Owal Awil atau lagu-lagu rakyat lainnya. 

  • Upacara Labuhan

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Upacara Labuhan merupakan Upacara Adat Yogyakarta yang telah dilakukan semenjak zaman Kerajaan Mataram Islam pada kurun ke XIII hingga kini di Provinsi Daerah spesial Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan melaksanakan Upacara Labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat serta negara.

Upacara Labuhan biasanya dilaksanakan pada empat tempat yang berjauhan letaknya. Masing-masing tempat itu mempunyai latar belakang sejarah tersendiri sehingga pada masing-masing tempat tersebut perlu dan layak dilakukan upacara labuhan. Keempat tempat tersebut ialah Dlepih yang berada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Tempat yang kedua ialah Parangtritis di sebelah selatan Yogyakarta, Yang ketiga ialah Puncak Gunung Lawu dan yang keempat ialah di Puncak Gunung Merapi.

Upacara Labuhan ini bersifat religius yang hanya dilaksanakan atas titah raja sebagai kepala kerajaan. Dan berdasarkan tradisi Kraton Kesultanan Yogyakarta, Upacara Labuhan dilakukan secara resmi dalam rangka peristiwa-peristiwa mirip Penobatan Sultan, Tingalan Panjenengan (Ulang tahun penobatan Sultan) dan peringatan hari “Windo” hari ulang tahun penobatan Sultan “Windon” berarti setiap delapan tahun.

Tidak mengherankan kalau upacara tradisional langka ini menjadi daya tarik wisatawan untuk menyaksikannya. Susana khidmat upacara, keberanian para pembantu juru kunci melaksanakan Labuhan di lautan serta keramaian masyarakat memperebutkan benda-benda Labuhan, Semakin menarik program Labuhan menjadi menarik untuk disaksikan.

  • Upacara Siraman Pusaka
 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG



Upacara Siraman Pusaka ialah Upacara Adat Kraton Yogyakarta membersihkan segala bentuk pusaka yang menjadi milik kraton. Tradisi ini diadakan pada setiap bulan Suro pada hari Jum;at Kliwon atau Selasa Kliwon dari pagi hingga siang hari yang biasanya dilakukan selama 2 hari. 

Adapun bentuk pusaka yang dibersihkan diantaranya Tombak, Keris, Pedang, Kereta, Ampilan (banyak dhalang sawunggaling) dan lain sebagainya. Pusaka yang dianggap paling penting oleeh Kraton Yogyakarta ialah Tombak K.K Ageng Plered, Keris K.K Ageng Sengkelat, Kereta Kuda Nyai Jimat, Khusus Sri Sultan membersihkan K.K Ageng Plered dan Kyai Ageng Sengkelat. Setelah itu gres pusaka yang lainnya dibersihkan oleh para pengeran, Wayah Dalem dan Bupati.  

  • Upacara Saparan (Bekakak)

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Desa Ambarketawang, yang terletak di Kecamatan Gamping, Sleman, Daerah spesial Yogyakarta mempunyai tradisi khas berupa Upacara Adat Yogyakarta Penyembelihan Bekakak. Yaitu penyembelihan sepasang boneka temanten (pengantin jawa) muda yang terbuat dari tepung ketan yang dilaksanakan setahun sekali dalam bulan Sapar (kalender jawa).

Tradisi ini terkait dengan tokoh Ki Wirasuta, satu dari tiga bersaudara dengan Ki Wirajamba dan Ki Wiradana yang merupakan Abdi Dalem Hamengkubuana I yang sangat dikasihi.

Ketika pembangunan Kraton Yogyakarta berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang menentukan tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Pada bulan purnama antara tanggal 10 dan 15, pada hari Jum’at terjadi musibah. Gunung Gamping longsor, Ki Wirasuta dan keluarganya tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang sebab jasadnya tidak ditemukan. Hilangnya Ki Wirasuta dan keluarganya di Gunung Gamping menjadikan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirasuta tetap ada di Gunung Gamping.

Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta dan Nyi Wirasuta kepada Sri Sultan Hamengkubuana I tetapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapat keselamatan bagi penduduk yang mengambil Batu Gamping semoga terhindar dari bencana. Sebab pengambilan Batu Gamping cukup sulit dan berbahaya.   

  • Upacara Nguras Enceh

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Upacara Nguras Enceh ialah tradisi ritual tahunan yang dilaksanakan setiap hari Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon pada bulan Sura (penanggalan jawa). Ritual ini berupa membersihkan Gentong yang berada di makam raja-raja Jawa di Imogiri, Bantul, D.I Yogyakarta. Upacara ini dimaknai sebagai upaya membersihkan diri dari hati banyak sekali hal kotor.

Sementara itu Ritual 1 Sura lainnya diperingati oleh masyarakat Jawa lainnya mirip Tradisi Sedekah Laut di pesisir-pesisir Pantai Selatan Jawa dengan Melabuh “Uba Rambe” di tengah laut. Uba Rambe ialah sesaji atau sesajen yang berupa nasi tumpeng, kepala kambing, ayam dan aneka masakan kecil tradisional lainnya.

Untuk masyarakay Jawa pedalaman, ritual tradisi 1 Sura berupa Sedekah Gunung Merapi di Kabupaten Boyolali dan Ritual Mendaki Puncak Sangalikur di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.   

  • Upacara Rabo Pungkasan Wonokromo Pleret

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Upacara Rabo Pungkasan Wonokromo Pleret ialah salah satu upacara tabiat yang ada di Yogyakarta atau lebih tepatnya berada di Desa Wonokromo, Pleret, Kabupaten Bantul. Upacara tabiat ini biasanya diselenggarakan pada hari Rabu terakhir (Rabo Pungkasan) pada bulan Syafar yang dimaksudkan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pusat kegiatan upacara ini diadakan di depan Masjid dan seminggu sebelum program ini berlangsung biasanya ada program yang sifatnya keramaian (pesta rakyat). Seiring berjalannya waktu sebab dianggap pesta rakyat ini mengganggu ibadah masjid maka kegiatan upacara ini dipindahkan ke depan Balai Desa di lapangan Wonokromo.

Dalam Upacara Rabo Pungkasan banyak program kegiatan yang dilakukan yang bersifat hiburan mirip Perayaan Pasar Malam Sekaten. Puncak acaranya sendiri berupa Kirab Lemper Raksasa dari Masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo. Kirab ini di awali pasukan kraton Ngayogyakarta, kemudian lemper raksasa, dan kelompok kesenian rakyat mirip Shalawatan, kubrosiswo, rodat dan sebagainya.

Pada tamat upacara, lemper tesebut akan dibagikan kepada masyarakat sebab ini dianggap akan memperlihatkan berkah tersendiri bagi mereka yang sanggup membawa pulang lemper tersebut. 

  • Upacara Adat Pembukaan Cupu Ponjolo

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Upacara ini digelar setiap Pasaran Kliwon di penghunjung animo kemarau pada bulan Ruwah (kalender Jawa) bertempat di Desa Mendak Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul.

Cupu Panjala adalah tiga buah cupu keramat yang disimpan dalam kotak kayu berukuran kurang lebih 20 x 10 x 7 cm dan dibungkus dengan ratusan lembar kain mori. Ritual ini sebetulnya prosesi pembukaan atau pergantian pembungkus cupu yang dilakukan setiap tahun sekali.

Ritual ini dilakukan oleh Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dengan menggunakan Pakaian Adat Jawa dan sebelumnya telah berpuasa terlebih dahulu. Ritual ini selalu menarik minat masyarakat tak hanya dari Gunungkidul saja namun juga dari wilayah lain di Pulau Jawa. 

Hal ini tidak terlepas dari keyakinan masyarakat yang mempercayai bahwa setiap gambar yang terlihat dalam lapisan kain mori pembungkus cupu tersebut merupakan ramalan insiden setahun ke depan.

Yan menarik dari Upacara Adat Pembukaan Cupu Ponjolo ini ialah tak jarang dalam setiap Pembukaan Cupu Ponjolo sering ditemukan beberapa benda mirip jarum, gabah kering, kulit kacang hingga motif gambar mirip wayang atau sosok tertentu. Padahal selama setahun Cupu tersebut selalu disimpan dilemari dengan sangat rapat dan dilarang dibuka sama sekali. 

  • Jamasan Kereta Pusaka

 Upacara Adat Yogyakarta Yang Masih Ada Hingga Sekarang  10 UPACARA ADAT YOGYAKARTA YANG MASIH ADA HINGGA SEKARANG

Upacara Jamasan Kereta Pusaka Kraton Yogyakarta dilakukan setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Suro bertempat di Museum Keraton Yogyakarta. Jamasan merupakan ritual untuk merawat dan membersihkan benda-benda pusaka yang dilakukan semenjak berabad-abad silam oleh masyarakat Jawa dalam mengisi bulan Suro.

Berbagai macam Benda Pusaka milik Keraton Yogyakarta mirip Kereta, Gamelan, Keris, Tombak dan lain sebagainya di basuh yang diistilahkan dengan “Dijamasi” pada bulan Suro (Muharram) yang dilakukan pada hari istimewa yaitu Jum’at Kliwon atau Selasa Kliwon.

Salah satu proses Upacara Adat Yogyakarta Jamasan yang bisa dilihat oleh umum ialah Jamasan Kereta Pusaka Kanjeng Nyai Jimat. Kereta Pusaka ini merupakan kereta buatan Portugis tahun 1750-an hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda dan menjadi tunggangan utama Sultan Hamengkubuwono I – IV.

Yang menarik dari prosesi Jamasa ini ribuan warga dari banyak sekali kawasan selalu berebut air dari sisa cucian kereta sebab percaya air tersebut mempunyai berkah tersendiri.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment